Suminah terkejut dan meminta anaknya mencabut benih padi yang sudah ditanam. Jarak tanam jarang-jarang ala jajar legowo yang dilakukan si anak membuatnya tidak nyaman. Bagi sang ibu, jarak tanam rapat-rapat adalah yang terbaik. Sudah turun temurun yang tidak perlu diubah. Ini bukan lagi tentang cara tanam tapi, kebiasaan yang sudah berubah menjadi keyakinan.
Suminah terkejut untuk kali kedua. Hasil panen jajar legowo ternyata lebih baik. Tapi, dia masih enggan mengubah cara tanamnya. Ia berkeras hati meminta anaknya menanam benih dengan jarak rapat-rapat seperti pendahulunya. Ia mengakui hasil panen jajar legowo lebih bagus. Tapi, untuk melakukannya, ia tidak rela meskipun tahu dan menikmati hasil panen yang lebih banyak.
Suminah, petani di pedesaan Banyuwangi adalah gambaran umum petani yang terjebak dengan cara berpikir dan bertindak turun temurun tanpa ada keberanian untuk mengubahnya. Padahal, perubahan itu memberi bukti nyata hasil panen yang lebih baik. Keputusan Suminah yang ‘tidak rasional’ itu menarik kalau dipotret dengan lensa ekonomi perilaku atau behavioral economics.
Ekonomi neoklasik mengasumsikan petani akan mengambil keputusan secara rasional demi memaksimalkan keuntungan. Tapi, behavioral economics justru sebaliknya. Manusia seringkali tidak rasional secara konsisten karena dipengaruhi oleh emosi, bias kognitif, tekanan sosial, dan warisan budaya, kata Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow. Ini bukan berarti petani salah dalam berpikir. Mereka rasional dalam kerangka sosial dan psikologis mereka sendiri.
Suminah adalah contoh konkret tiga bias yang dialami petani. Pertama, status quo bias, yakni kecenderungan mempertahankan cara lama karena merasa nyaman dan aman. Dia belum merasa aman dan nyaman mengubah cara tanam lamanya. Ini sama juga dengan urusan pupuk. Yang organik dan hayati jelas-jelas menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang dan hasil panen lebih baik, tapi petani seperti Suminah tetap saja bertahan dengan warisan bapak, kakek, dan moyangnya.
Selain asyik di zona aman dan nyaman, petani juga mengalami loss aversion -takut rugi lebih besar daripada ingin untung. Mereka lebih memilih cara lama yang hasilnya lumayan daripada mencoba teknik baru yang menjanjikan hasil tinggi, tapi mengandung risiko gagal. Rasa takut ini bukan irasional, tapi berakar pada pengalaman masa lalu atau petani yang kebetulan gagal.
Bias yang tak kalah penting adalah present bias, kecenderungan mendahulukan kebutuhan jangka pendek dibandingkan manfaat jangka panjang (Thaler & Sunstein, 2008). Petani lebih memilih menjual hasil panennya segera setelah panen, meskipun harganya rendah karena butuh uang tunai untuk kebutuhan harian atau membayar utang. Mereka hindari menyimpan gabah atau menunggu harga naik karena tekanan ekonomi harian jauh lebih nyata ketimbang potensi keuntungan di masa depan.
Ketiga bias ini –status quo bias, loss aversion, dan present bias- merupakan kunci penting yang harus dipahami jika kita ingin berhasil membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah masih terlalu fokus pada pendekatan struktural dan belum menyentuh sisi psikologis petani. Padahal, tanpa perubahan perilaku di tingkat akar rumput, inovasi pertanian hanya menjadi program di atas kertas.
Lalu, bagaimana solusinya? Tentu saja, bukan pendekatan koersif atau top-down, melainkan nudging. Ini dorongan halus yang mempermudah petani mengadopsi perilaku baru tanpa merasa dipaksa (World Bank, 2021). Contohnya, menyisipkan cerita sukses petani lokal dalam pelatihan, insentif bertahap untuk percobaan teknologi baru, atau memperkuat peran tokoh lokal seperti kepala dusun, modin, atau ulama dalam penyuluhan pertanian. Pengaruh sosial yang kuat di masyarakat desa bisa dimanfaatkan untuk mendorong perubahan kolektif.
Banyuwangi sebenarnya punya modal kuat mengembangkan pendekatan ini. Berdasarkan data BPS (2023), Banyuwangi punya 1.500 kelompok tani aktif lebih yang tersebar dari lereng Ijen hingga pesisir Blimbingsari. Jika setiap kelompok tani ini difasilitasi dengan pendekatan berbasis behavioral insights, perubahan tidak memerlukan revolusi besar. Cukup evolusi kecil-kecil yang konsisten dan terukur.
Namun, untuk membuat perubahan yang berkelanjutan, dibutuhkan kolaborasi penyuluh lapangan, dinas pertanian, tokoh agama, sampai lembaga riset. Bahkan pendekatan digital ikut serta, misalnya lewat aplikasi sederhana yang membantu petani mencatat panen, menyimpan stok, atau mengakses harga pasar. Tapi, semuanya harus dimulai dari trust. Membangun kepercayaan butuh waktu, kesabaran, dan kesediaan untuk mendengarkan.
Banyuwangi, sebagian besar tanahnya subur. Air cukup. Petaninya ulet dan penuh semangat. Tapi ketahanan pangan tak cukup hanya ditanam dengan benih, cangkul, dan pupuk. Ia harus disemai dalam kesadaran baru bahwa perubahan bukan musuh. Bahwa warisan bukan berarti stagnasi. Rasa takut bisa dijinakkan selama kita mengerti dari mana ia berasal. Sawah, warisan, dan ketakutan adalah tiga kata kunci pertanian kita hari ini. Untuk mengubahnya menjadi harapan, kita perlu ilmu, empati, dan kebijakan yang menyentuh akal sekaligus hati.
*Founder Economica Institute