JAKARTA – Warganet dan nitizen Indonesia selalu punya cara untuk merespon setiap konten media sosial yang menyita perhatian publik alias viral. Apalagi kalau sampai menjadi trending topic dan jadi konsumsi media konvensional. Terlebih lagi kalau menjadi tema diskusi sampai talkshow di jaringan televisi.
Salah satu konten viral yang menyita perhatian publik belakangan ini soal perkebunan sawit di Papua Barat. Konten dengan tema All Eyes on Papua itu menggelinding seperti bola salju. Konten ini kampanye untuk mendukung Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya. Mereka menolak tanahnya jadi perkebunan sawit.
Juru bicara Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin tentu saja berkomentar masalah ini di media online. Fokusnya soal emisi karbon. “Ini yang akan menambah kontribusi pelepasan karbon Indonesia yang akan memperparah krisis iklim,” katanya seperti dikutip Tempo pada 5 Juni 2024.
Tapi, warganet punya pendapat berbeda. Bahkan, pendapat sebaliknya karena menemukan fakta yang berbeda.
“Ga sertamerta langsung sawit jelek sawit jelek… Ingat sumbangsih sawit juga ada untuk kamu dan sangat besar untuk kita. Jangan telan mentah-mentah penggiringan opini (seperti ini),” kata pegiat media sosial dengan nama akun IG @maharshida.
Dia menyoroti beberapa poin dan framing dalam All Eyes on Papua yang dia tidak sepakati. Pertama, terkait pembukaan hutan untuk kemudian ditanami sawit mengakibatkan pelepasan karbondioksida (CO2) ke udara.
“Buat kalian yang nonton video ini, stop nonton video ini! Stop scroll IG, matikan HP kalian, karena HP kalian sumber energinya dari listrik. Listrik itu dari batu bara. Sementara batu bara membunuh lebih banyak orang,” katanya.
Soal kendaraan bermotor yang digunakan di Indonesia dengan bahan bakar fosil tidak luput dari sorotannya. Gas buangan bahan bakar ini memang tidak sehat untuk manusia.
“Untuk kalian yang bepergian, stop naik kendaraan! Untuk kalian yang online shopping, stop. Karena semua transportasi itu, anak SD pun tahu, hasilnya gas apa,” kata dia.
Pemilik akun @maharshida memberi gambaran yang konkret. Faktanya perkebunan sawit menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Apalagi, minyak sawit merupakan bahwa baku yang digunakan untuk pembuatan biodiesel yang sangat ramah lingkungan.
“Hei ini perkebunan kelapa sawit di proyek tanah merah ini, bahwa perkebunan itu kumpulan tumbuhan bukan cuma menghasilkan CO2, tapi juga menghasilkan oksigen,” paparnya.
Dia juga mengungkapkan kelapa sawit salah satu tanaman yang bisa menghasilkan minyak nabati. Nah, penggunaan lahan untuk kelapa sawit ini justru sangat efisien jika dibandingkan dengan minyak nabati lain.
Sebelum mengakhiri narasinya, dia mengkhawatirkan satu hal. Seruan All Eyes on Papua bisa mematikan perkebunan sawit yang selama ini menopang perekonomian Indonesia. Pesan menarik dia, jangan sampai Indonesia kembali dijajah negara asing dengan cara mematikan komoditas andalan Indonesia yakni sawit.
“Jika dulu Indonesia itu dijajah oleh negara asing karena rempah-rempahnya, rempah-rempah itu komoditas unggulan Indonesia pada zaman itu. Tapi sekarang komoditas unggulan Indonesia itu adalah kelapa sawit,” katanya.
Kekhawatiran dia cukup beralasan karena ada 7,1 juta petani yang menggantungkan hidupnya pada kelapa sawit. Kalau satu petani punya satu istri dan dua anak, berapa jiwa yang harus dinafkahi dari komoditas sawit? Tinggal dikalikan empat.
Selain petani, masih ada jutaan pekerja yang bekerja di industri hilir sawit. Kontribusi sawit makin tidka terhitung kalau ditambah dengan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan sampai menjadikan anak-anak desa menikmati pendidikan melalui beasiswa.
Pilihannya hanya satu, apakah rakyat Indonesia bersedia dijajah kembali dengan cara mematikan komoditas sawit? (EPS)